Garden Party


gambar dari https://www.instagram.com/whyknotkreatif/

Aku mengatakan kepada Nai tidak akan hadir di hari pernikahannya. Aku masih berada di Lampung dan ada sedikit urusan yang menyitaku sehingga tidak bisa pulang ke Jakarta dalam waktu dekat. Suara di seberang sana menghilang, sambungan telepon kami mendadak hening. Hanya angin laut dan suara-suara kapal di pelabuhan Bakauheni yang kudengar, tidak suara Nai. Hening yang mengisi jeda pembicaraan kami berubah menjadi isak, pelan, lirih. Hatiku bergemuruh mendengarnya.
“Tapi kamu sudah janji, Bim. Ini hari terpenting dalam hidupku.”
Tangis lirih itu pecah juga. Aku membiarkan suara tangisnya memenuhi obrolan kami. Kubiarkan dia mengambil waktu sepuasnya, mengambil seluruh waktu yang dia inginkan. Kepalaku mendadak penuh. Banyak jawaban yang ingin kuberikan, banyak alasan yang ingin kuciptakan, tetapi tak satu pun yang dapat keluar dari mulutku. Semua kata-kata hanya mengisi kepalaku lalu berhenti di kerongkonganku. Mulutku serasa terkunci dan tidak ada cara membukanya.
“Bim, kumohon, untuk kali saja, datanglah. Setelah ini, aku tidak akan meminta apa-apa lagi darimu,” katanya. Tangisnya telah reda. Nada bicaranya sedikit lebih tenang dari tadi.
“Maaf, Nai, kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaanmu,” jawabku.
Nai menutup sambungan teleponnya setelah berkata, nggak apa-apa jika kamu nggak bisa hadir. Aku sudah meminta dan tidak akan meminta lagi ke kamu. Setidaknya, doakan yang terbaik untukku. Pastinya, jawabku dan pembicaraan kami berakhir.
Kususuri jalan lengang, lampu-lampu terminal Merak yang redup menambah muram suasana hatiku. Wajah-wajah pedagang kaki lima yang lelah, penjaga toilet yang menahan kantuk, kenek supir bus yang tak lagi lantang berteriak setelah kelelahan, seolah mengatakan kepadaku, kamu tidak sendiri. Selalu ada yang tak baik di hidup ini. Selalu. Kutatap sekeliling, mengumpukan tekad yang masih tercerai berai. Menarik napas dalam-dalam, belum bulat benar tekadku tapi kuputuskan kembali ke Jakarta malam ini juga.
                                                                   # # #
Pelataran parkir Gedung serba guna itu tampak dipenuhi kendaraan. Bunga-bunga papan bertuliskan ucapan selamat untukmu, Nai, tak terhitung jumlahnya.  Berjejer rapi dari pintu masuk hingga ke muka gedung. Dekorasi adat Padang, budaya suamimu menghiasi gedung ini.
Kamu tampak cantik dalam balutan kebaya putih, simple dan elegan.  Selalu cantik dan tidak pernah berubah sejak awal pertemuan kita dulu. Tapi Nai, aku  hadir ke pernikahanmu bukan untuk mengucapkan selamat. Aku tidak ingin memasang wajah pura-pura di hadapanmu. Kamu tahu, aku tidak senang dan tidak akan pernah senang melihatmu menikah selain dengan diriku. Jika mampu, aku ingin mengucapkan sumpah serapah di depan suamimu. Tapi aku sadar, itu akan merusak pernikahanmu.
Dan, yang bisa kulakukan, hanya memandangimu dari jauh.
“Jika nikah nanti, kamu ingin seperti apa?” tanya Nai kepadaku.
Entah dari mana pertanyaan ini mampir di kepala Nai. Aku cukup paham, hubungan ini sudah dibangun empat tahun dan sudah cukup bagi kami meningkat ke jenjang  lebih tinggi lagi. Satu anak tangga yang akan mengantarkan kami menapaki biduk rumah tangga. Tapi Nai, ketergesa-gesaanmu membuatku khawatir, membuatku takut, apa yang kita rencanakan hari ini, hanya akan berujung pada renca tanpa pernah terealiasi di kehidupan nyata.
Namun, melihat binar di matanya saat mengajukan pertanyaan itu, membuatku tak kuasa tak menanggapi pertanyaannya. Aku sedikit mengerutkan dahi, berpura-pura berpikir. Nai menunggu jawabanku dengan gemas, tangannya mengepal-ngepal lembut.
“Pakai jas hitam pas akad. Selesai. Tidak ada resepsi, tidak ada tamu undangan. Hanya keluarga kita, keluarga inti. Tidak perlu mengundang sanak keluarga dari jauh. Cukup kita saja.”
“hmmmm . . . gak imajinatif banget, khas kamu banget. Salah nih nanya hal kayak gini ke kamu.” Nai cemberut dan membuatku gemas ingin mencubit pipinya.
“Kamu ingin kayak gimana sih?”
Garden party tapi yang bener-bener garden party, bukan di kota. Aku ingin di gunung pancar. Dekorasinya pakai obor dan lampu kelap-kelip. Aku pakai dress hitam selutut dan sepatu converse. Kamu pakai kemeja hitam, jeans dan running shoes. Kita hanya akan mengundang teman-teman dekat, maksimal 30 orang. Terus, yang mau menginap kita siapaikan tenda, lengkap dengan fasilitas kasur di dalamnya. Bukan cuma kita yang bahagia kan, teman-teman juga bisa sekalian liburan,” ucapnya penuh antusias dan aku hanya menganguk mendengarnya.
Sayangnya, perempuan yang membuat konsep pernikahan itu, mengucap janji pernikahan dengan orang lain, bukan denganku.
Aku hanya mampu memandangnya dari jauh lalu pergi  membawa luka seorang diri.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar