Setumpuk surat dan sebingkai foto diletakkan pak RT di atas meja.
“Buang saja atau bakar,” katanya kepada anak perempuannya yang duduk di bangku
sekolah menengah atas itu ketika bertanya milik siapa surat dan bingkai foto
itu.
Seperti umumnya gadis remaja, dia membayangkan isi surat itu berisi
pesan-pesan cinta. Di zaman teknologi yang begitu mudahnya mengirimkan pesan
melalui telepon ganggam, dia kadang memimpikan mendapatkan setumpuk surat dari
seorang pria. Bagaimana pun dia bosan dengan aplikasi pengirim pesan, terlalu
mudah, terlalu biasa.
Diambilnya setumpuk surat itu dan dibawanya ke dalam kamar. Setelah
mengganti seragam putih abu-abunya dengan kaus bergambar papan surfing dan
bertuliskan ‘I Love Bali’ hadiah dari temannya yang berlibur di sana dan
diam-diam membuatnya iri, serta celana pendek berwana biru langit, dia mulai
membuka surat-surat itu.
Dirunutnya surat-surat itu berdasarkan tanggal yang tertera di sebelah
kanan kertas. Baru merunutkannya saja membuat hati gadis itu berbungah,
merasakan senang yang teramat sangat. Manis sekali, pikirnya. Tunggu saja
sampai dia membacanya, dia akan berpikir ulang, masih maniskah isi surat-surat
itu atau justru membuatnya menyesal telah membacanya.
Suara ketukan pintu dari Bu RT tak digubrisnya. Gadis itu telah
tenggelam sepenuhnya dalam baris-baris tulisan itu. Membuat matanya sembab,
ujung guling yang ditindihnya ikut basah dengan air matanya. Sesekali dia
mengelap ingus dengan ujung kausnya, malas beranjak mengambil tissue di atas
meja.
Dia mengubah posisi tubuhnya, membaca surat itu sambil telentang, jika
matanya panas dan siap menumpahkan air, dia kembali tengkurap. Jika pegal, dia
duduk sambil memeluk guling, yang ujungnya basah dijatuhi air mata atau
ingusnya yang tak sempat dielapnya terburu jatuh di sana. Kadang dia berhenti,
membiarkan air matanya jatuh, mengelap ingusnya lalu melanjutkan membaca
suratnya.
# # #
Tak pernah ada yang tahu dari mana lelaki tua itu berasal. Suatu pagi,
seseorang melihatnya keluar dari gubuk berdinding triplek itu. Gubuk reyot yang
sudah bertahun-tahun tak ditempati karena takut diganggu hantu perempuan dan
anak kecil. Pemiknya mati di sana. Bunuh
diri beserta dua anak perempuannya
dengan menenggak racun tikus bersamaan setelah suaminya kabur dengan pembantu
komplek.
Beberapa warga memperingatinya, lelaki tua itu tak menggubrisnya dan
mengatakan tak takut hantu, dia lebih takut harapan. Warga mengira lelaki itu
sinting, bagaimana bisa seseorang lebih takut hantu daripada harapannya
sendiri. Sebenarnya warga sedikit merasa tenang dengan kehadirannya. Dengan
ditempatinya rumah itu, tak ada lagi hantu perempuan dan anak-anaknya meski
tetap ada saja yang masih percaya hantu itu kini berpindah ke pohon beringin di
pekuburan. Tak apa di pekuburan, setidaknya tidak dekat dengan rumah mereka,
begitu pikir warga.
Rasa senang warga berubah menjadi rasa kesal ketika melihat lelaki itu
selalu duduk di pinggir jalan sambil mencekik botol anggur murahan. Bekerja
serabutan pada siang hari dan menumpahkan segalanya pada botol anggur di malam
hari. Namun melihat sikapnya yang baik dan tidak pernah mengganggu, lama-lama
warga bisa menerimanya.
Setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana, tetap tak ada satu pun
warga yang tahu dari mana asal usul lelaki itu. Mereka hanya tahu lelaki itu
keluar dari rumah berhantu pada pagi hari dan menenggak anggur murahan pada malam hari di gang masuk
perkampungan.
# # #
Gadis itu meletakkan setumpuk surat di sisi kanan tubuhnya. Berjalan ke
arah meja, mengambil kotak tissue dan mulai menghapus air matanya lalu
ingusnya. Selembar tissue kering yang menjadi basah itu dikepalnya, dibentuknya
bulat-bulat menyerupai bola lalu dilemparkanya begitu saja. Dia membalikkan
kotak tissue, mengorek dengan jari telunjuknya dan tak menemukan sehelai tissue
pun di dalamnya. Satu box tissue telah menjelma bola-bola kertas dan
memenuhi lantai kamarnya.
Kini, dia menjadi satu-satunya orang di perkampungan itu yang
mengetahui sebagian cerita lelaki tua itu. “Lelaki malang, hidupnya
menyedihkan. Tapi dia setia,” gumam gadis itu.
Dari setumpuk surat, gadis itu mengetahui sepenggal kisah lelaki tua
itu. Lelaki yang memutuskan kabur dari rumah demi bisa menikahi kekasih yang
amat dicintainya. Mereka sepakat bertemu di sebuah persimpangan. Lelaki itu
menunggu dengan sabar, tetapi kekasihnya tak pernah datang, tak pernah terlihat
batang hidungnya. Lelaki itu terus menunggu, hingga dia menyadari, kekasihnya
tak akan pernah datang dan menempati janji yang mereka buat.
“Jika bukan kau, aku tak akan menikah dengan orang lain. Tidak akan,”
tulisnya di akhir surat pertama.
Lelaki itu terus melangkah, menjauh dari rumah, menjauh dari
orang-orang yang mengenalnya. Dia tak punya cukup muka untuk ditunjukkan ke
hadapan keluarganya. Kembali ke rumah sama saja mencoreng wajah bapaknya dua kali.
Pertama, ketika dia kabur dari rumah demi perempuan yang ditentang keluarganya.
Kedua, kembali dari rumah setelah mencoreng muka ayahnya, muka tokoh kampung
yang disegani seluruh warga dan dia tak ingin mencoreng muka bapaknya dua kali
dan memutuskan pergi.
Keluarganya pasti berpikir dia telah pergi jauh dengan kekasihnya.
Menetap di satu tempat dan menikah dengannya. Hidup berbahagia dan memiliki dua
anak, perempuan dan laki-laki. Nyatanya hidup mengantarkannya pada garis lain.
Bukan pada prasangka keluarganya, bukan pula pada harapannya. Hidup
mengantarkannya sebagai seorang lelaki yang marah pada dunia dan satu-satunya
yang menyelamatnya hanya sebotol anggur murah yang ditenggaknya di gang
perkampungan.
Lelaki itu hidup menyendiri. Bekerja serabutan agar dapat makan,
membeli beberapa batang rokok dan miras murah. Dia tak sempat menuliskan surat
perpisahan, ajal keburu menjemputnya. Tapi dia sempat menyerahkan sebingkai
foto dan setumpuk surat yang tak pernah dia kirimkan ke kekasihnya yang mungkin
telah berbahagia dan memiliki banyak anak.
Setumpuk surat dan sebingkai foto yang membuat gadis itu menangis
tersedu-sedu.
# # #
Perempuan tua itu membuka halaman demi halaman buku bersampul cokelat
miliknya. Kertas-kertas di dalamnya telah menguning dimakan usia. Tinta pada
baris-baris tulisan tangan sedikit memudar. Namun perempuan itu hapal
baris-baris kata yang ditulis untuknya. Dia hanya ingin melihat tulisan tangan
itu, menyentuhnya, seperti menyentuh tangan kekasihnya. Menggenggamnya erat dan
tak ingin melepaskannya.
“Apakah ini cinta?” tanyanya dalam hati.
Pertanyaan itu seringkali menghantuinya. Satu-satunya yang dapat
mengenyahkan pikiran itu darinya ketika melihat buah hatinya. Melihat mereka
tumbuh, memberi rasa tenang dalam dirinya. Jika bukan cinta pada suaminya,
cinta datang dari anak-anaknya dan dia merasa cukup dengan itu. Toh tidak ada yang sempurna, selalu ada yang
tidak sempurna di hidup ini, pikirnya.
Namun, ketika anak-anak tumbuh dewasa dan memilikinya dunia sendiri,
kesepian menggedor-gedor hatinya. Pertanyaan tentang cinta datang bersamaan
dengan rasa sepi itu. Anak tertuanya telah bekerja, merantau. Anak bungsunya
memilih tinggal indekost dekat kampusnya. Suaminya, entah kemana. Dia sudah
terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.
Perempuan itu menyesal tak menepati janji pada kekasihnya. Mereka
sepakat bertemu di persimpangan jalan, kabur dari rumah, menikah, dan hidup
bahagia selamanya. Dia terlalu takut menghadapi badai di depan dan memilih
mengurungkan niatnya.
Tahun berganti, dia menemukan seorang lelaki dan memutuskan menikah
dengannya. Bertahun-tahun menikah, pertanyaan tentang cinta kembali datang
kepadanya. Membuatnya ragu melanjutkan bahtera pernikahannya. Mereka belum
dikaruniai anak dan hidupnya tak juga membaik setelah menikah. Suaminya tak
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tak dapat memenuhi harapannya memiliki
momongan.
Mereka memutuskan bercerai tepat di hari ulang tahun pernikahannya yang
keempat.
Terbesit dalam hatinya untuk menemui kekasihnya dulu. Getar ketakutan
melingkupi seluruh tubuhnya. Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Dia
mengurungkan niatnya dan memutuskan melanjutkan hidup. Tak lama setelah itu,
dia bertemu seorang lelaki yang mengajaknya menikah. Lelaki tampan dan mapan.
Lelaki yang dapat memenuhi kebutuhannya dan membuatnya aman.
Meski telah menikah, pertanyaan tentang cinta kembali menghantuinya.
Namun keraguan itu menghilang ketika mereka akhirnya beranak-pinak. Penyesalan
yang memenuhi hatinya sedikit terobati dengan kehadiran putrinya dan semakin
terkikis setelah anak keduanya lahir. Pertanyaan tentang cinta tetap saja
datang dan wajah anaknya mampu membuatnya menepis serangan itu.
# # #
Kini di usia senjanya, ketika anak-anak telah tumbuh dewasa dan
memiliki dunianya sendiri, suaminya yang dulu begitu posesif, selalu
menemaninya dan tak pernah memberinya jeda sedikit pun untuknya menikmati waktu
seorang diri atau berkumpul bersama teman-temannya, telah berubah dingin dan
selalu menghilang dari rumah, pertanyaan tentang cinta lebih sering datang
kepadanya.
Dia memikirkan kekasihnya. Memikirkan kemungkinan bertemu dengannya dan
jika lelaki itu masih sendiri atau sudah sendiri, dia ingin hidup bersamanya.
Anak-anaknya sudah besar dan dia yakin mereka akan memahami pilihan mamanya.
Kadang dia berpikir, mungkin ini karma yang harus diterimanya karena
telah menyia-nyiakan seseorang yang amat mencintainya. Dia memiliki anak-anak
yang baik dan hidupnya berkucukupan, tapi hidupnya tak pernah benar-benar
merasa bahagia. Selalu ada yang kosong di dalam hatinya dan dia percaya,
satu-satunya yang dapat mentupi kekosongan itu hanya kekasihnya.
Perempuan itu hidup dengan penyesalan. Lelaki itu hidup dengan
menyedihkan. Yang satu telah mati, satunya lagi berharap bertemu sebelum mati
tanpa tahu yang diharapkannya telah mati.
0 comments:
Posting Komentar