dipungutnya ranting-ranting rindu
dari pohon hati yang patah
berserakan di antara daun-daun kesepian
di tanah
basah dihujani air mata
menggenggam yang bisa (harus) digenggam
melepaskan yang bisa (harus) dilepaskan
Lelaki itu
terbangun dari tidurnya, belum pulas benar tidurnya, ketika mimpi buruk datang,
menayangkan adegan hatinya yang patah, terinjak-injak, remuk beberapa bagian
dan menjadi serpihan. Jam dinding hadiah dari minuman ringan yang menempel di
dinding kamarnya menunjukkan pukul lima pagi.
Kepalanya
berdenyut, racikan patah hati dan minuman murah yang dibelinya di warung dekat
rumahnya membuat kepalanya seperti berputar.
Diambilnya
botol air mineral yang isinya telah separuh, entah dibeli hari apa, dia tak
memusingkannya. Tidak lagi memikirkan hal-hal remeh seperti itu. Air kemasan
itu habis dalam satu tegukan. Kepalanya masih berdenyut, mimpi buruknya masih
menempel kuat di pikirannya, membuatnya terbangun dari tidurnya, dari posisi
tubuhnya yang berbaring. Berdiri, mengambil jaket yang digantung di balik
pintu. Mengenakannya lalu berjalan ke luar rumah.
Lampu-lampu
jalan yang redup, harapnya yang redup merupakan kombinasi sempurna dari
kekalahan hidup yang ditanggungnya. Dia tak lagi mengutuk, mengutuk dirinya,
mengutuk mantan kekasihnya, mengutuk manusia-manusia, mengutuk tuhannya. Cukup sudah
kemarahan dilampiaskannya berbulan-bulan. Cukup sudah marah pada semua hal. Baginya,
saat ini adalah menyerah. Menyerah dari semua hal, segala hal dan menjalani apa
yang ada saja.
Sepasang,
dua pasang, seorang berlari melewatinya yang berjalan pelan. Manusia-manusia
yang percaya jika olah raga dapat membuatnya hidup sehat dan bahagia. Padahal,
dunia yang kejam tak memedulikan itu semua. Bahkan, kau bisa mati di lapangan
futsal.
Kedua jarinya
mengapit sebatang rokok yang belum juga dia sulut. Dia menunggu, mencari tempat
duduk yang nyaman. Menikmati rokok di pagi muram, melihat orang-orang
berlarian. Dia menemukan kursi taman di bawah pohon rindang. Duduk di sebelah
kanan. Mengeluarkan pemantik api, menyulut rokoknya. Pada tarikan kedua, batuk
menyerangnya. Darah menggumpal keluar dari mulutnya.
Batuknya tak
berhenti. Dia turun dari kursi, jongkok di depan muntahan darahnya. Dia
mengorek-ngorek gumpalan darah merah kental itu. Serpihan hatinya ada di
dalamnya. Benar-benar hancur hatiku. Benar-benar sulit disatukan lagi,
gumamnya.
Disulut rokoknya,
kembali menghisapnya lagi. Dia ingin batuk berhenti, terus-menerus hingga
seluruh gumpalan darah yang membawa serpihan hatinya keluar dari tubuhnya.
Tidak ada
hati, tak perlu jatuh cinta lagi. Tidak mungkin tersakiti lagi, katanya.
0 comments:
Posting Komentar