Lelaki tua itu duduk di gang masuk perkampungan. Tangannya mencekik leher
botol miras murahan yang dibelinya di warung dekat pangkalan ojek. Dia akan
duduk di sana sepanjang malam, sesekali meminta rokok pada orang-orang yang
lewat. Murni meminta. Dia tidak pernah memaksa, tidak memalak siapapun. Dia
meminta dengan cara yang baik, jika tak diberikan, dia akan membiarkan orang
itu lewat begitu saja. Tidak ada umpatan apalagi kekerasan.
Jika sedang beruntung, dia bisa menenggak anggur merah cap kakek tua
tanpa harus membelinya. Para tukang ojek dan beberapa orang yang entah bekerja
apa biasanya menjadikan pangkalan itu sebagai tempat judi. Penjudi yang menang
besar malam itu memberinya satu botol gratis, seringnya sisa-sisa botol yang
mereka tenggak. Lelaki tua itu membawa botol-botol minuman yang isinya tinggal
separuh itu dengan perasaan senang. Duduk di gang masuk perkampungan. Duduk
sepanjang malam.
Lelaki tua itu tetap duduk di sana walau hujan sekalipun. Dia hanya
pindah beberapa langkah, berteduh di pos ronda. Beberapa warga yang mendapat
tugas berjaga malam itu tak pernah terusik dengan kehadirannya. Mereka sesekali
memberi beberapa batang rokok dan secangkir kopi. Rokok diterimanya dan kopi
ditolaknya. Dia tak ingin menyentuh kopi lagi, sudah puluhan tahun dia membenci
minuman itu. Selain air putih, dia hanya menenggak anggur merah.
Lelaki itu pulang ke rumah ketika suara kentongan di tiang listrik
berbunyi empat kali. Membawa botol-botol kosong itu dan memasukkan ke dalam
karung yang teronggok di samping rumahnya. Jika karung sudah terisi penuh, dia
menjualnya ke tukang loak. Uangnya cukup membeli dua botol anggur murahan.
Dia biasanya bangun pukul sembilan atau sepuluh pagi atau di tengah
waktu itu. Tak lebih, tak kurang. Ada semacam alarm di kepalanya yang berbunyi
secara otomatis pada dua waktu itu dan itu selalu membuatnya terbangun. Setelah
terbangun, dia menenggak air putih. Mencari sisa-sisa rokok di asbak yang
terbuat dari potongan minuman kaleng. Jika tak menemukan separuh batang rokok,
dia akan mengumpulkan puntung rokok kreteknya. Dihancurkannya puntung itu,
dikumpulkan menjadi satu dan diletakkannya di atas papir. Dilintingnya,
disulutnya, dihisapnya lalu dihembuskan perlahan.
Lelaki tua itu lalu mengambil karung dan kait yang tergantung di
dinding. Berjalan meninggalkan rumah untuk mencari botol-botol bekas di dalam
tong sampah atau berserakan di jalan. Dia seringkali mengumpat ketika melihat
banyak orang yang mengeluh tentang banjir tapi senang sekali membuang sampah
sembarangan. Keluhan itu hanya lewat sepintas saja di kepalanya, berganti
dengan rasa syukur karena menemukan banyak botol dan gelas pelastik di jalan.
Kebodohan orang-orang itu memekakkan telinga, tapi membuat perutku
terisi, ucapnya pada dirinya sendiri.
Dia tak selalu menyusuri satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Ada
kalanya dia diminta warga memperbaiki genteng rumah, membabat rumput liar atau
sekadar mengecat pagar rumah. Terkadang, hanya disuruh datang tanpa mengerjakan
apa-apa dan pulang dengan membawa makanan serta uang. Dia tahu warga peduli,
kasarnya, kasihan kepadanya. Dia tak ingin ambil pusing, setidaknya, dia bisa
makan beberapa hari dan bisa membeli anggur murahan untuk menemani malamnya
yang panjang.
Awalnya, warga merasa teganggu dengan kehadirannya. Hampir setiap malam
warga yang melintasi gang itu selalu melihatnya duduk sambil memegang botol
miras. Mereka takut lelaki itu akan bertindak di luar kesadarannya. Berlaku
kasar dan memalak warga yang lewat. Setelah bertahun-tahun, warga terbiasa
dengan kehadirannya. Terlebih, lelaki itu tak mengganggu siapa pun, dia hanya
duduk sepanjang malam dan minum seorang diri.
Sesuatu yang awalnya dianggap mengganggu berubah menjadi biasa jika
sudah terbiasa. Tak jarang menjadi semacam rindu. Seperti ketika lelaki tua itu
tak terlihat dua malam berturut-turut di gang itu. Pertanyaan yang sama juga
kerap terlontar dari ibu-ibu yang senang bergosip sambil membeli sayur di
tukang sayur keliling, para penjudi di pangkalan ojek serta pemilik warung
penjual miras.
Setelah bertahun-tahun menjadi pelanggannya, tukang warung merasa khawatir
dengan lelaki tua itu. Bagaimana pun, lelaki itu menjadi pelanggan tetapnya.
Saat jualannya tak laris, saat aparat berperut buncit sok-sok menegakkan aturan
yang membuatnya harus kucing-kucingan menjual miras, saat para pemakai sorban
menggertak dan akhirnya berdamai dengan mengambil puluhan botol darinya, lelaki
tua tetap datang di malam hari, menggedor-gedor warung yang pura-pura ditutup
dan membeli sebotol anggur darinya.
Penjaga warung menitipkan warungnya ke tukang ojek. Membawa sebotol
anggur, dua bungkus roti yang tanggal kedaluarsa sudah lewat seminggu tetapi
tetap saja laku dibeli, pergi menemui lelaki tua. Diketuknya pintu rumah
bedinding triplek dan beratapkan asbes itu. Lelaki tua dengan suara
terpatah-patah menyuruhnya masuk. Dia tak pernah mengunci rumahnya, tak pernah
takut kehilangan apapun karena memang tak ada papun yang bisa dicurinya
darinya.
Satu-satunya yang bisa dicuri darinya adalah harapan, itu pun telah direnggut
darinya berpuluh-puluh tahun lalu dan hanya menyisakkan satu untuknya. Yang
disimpannya baik-baik seorang diri.
“Tak perlu bangun. Makanlah roti ini dan minum anggurnya jika kau sudah
sehat,” kata pemilik warung itu lalu pergi meninggalkan rumah lelaki tua
setelah meletakkan bungkusan yang dibawanya di samping tempat tidur lelaki itu.
Dari tukang warung, para tukang ojek tahu lelaki itu sakit. Tukang ojek
bercerita kepada istrinya, istrinya bercerita saat membeli sayur di tukang
sayur keliling, lalu menyebar di pengajian ibu-ibu, dan menyebar di kalangan
bapak-bapak. Para pembantu yang membeli sayur dan kebutuhan lainnya di pasar
tahu dari tukang ojek yang mengatarnya lalu bercerita ke majikannya, terus
begitu hingga satu kampung tahu kemana lelaki tua itu tak tampak batang
hidungnya selama beberapa hari.
Pak RT yang ingin terlihat berwibawa di hadapan warganya berkeliling
dari rumah ke rumah, meminta sumbangan bagi lelaki tua yang sakit itu, yang
bahkan belum pernah dijenguknya. Selalu ada peluang jika kau bisa memanfaatkan,
begitu pikir pak RT. Sebagian uang sumbangan masuk ke kantongnya, diberikannya
ke istrinya dan membayar tunggakan uang sekolah anaknya. “Lelaki tua tentu tak
membutuhkan uang yang banyak,”pikir RT itu.
Ditemani beberapa warga, lelaki berkepala abu-abu itu membawa uang
hasil sumbangan warga untuk lelaki tua itu. Dia mendorong pintu perlahan
setelah beberapa panggilan tak mendapat jawaban. Lelaki itu terbaring lemah di
atas kasur yang busanya sudah menipis, yang hanya memisahkan dirinya dirinya
dari lantainya yang beraspal. Dua bungkus roti tergeletak di sampingnya masih
dalam keadaan utuh. Lumut-lumut hijau sebagian menutupi roti itu. Lelaki itu
tak menyentuhnya dan hanya meminum sedikit anggur pemberian tukang warung itu.
Tak banyak barang di dalam Rumah itu. Kardus berisi beberapa helai
pakaian yang terletak di ujung kasurnya, teko plastik berisi air putih dan
kompor gas pemberian pemerintah yang tak pernah dia gunakan karena tak paham
bagaimana memasang selang kompor ke tabung gas. Dia juga tak tertarik mencari
tahu setelah melihat tayangan televisi yang terpasang di pangkalan ojek
memberitakan meledaknya tabung gas 3 kg.
Dia tahu suatu hari dia akan mati tapi dia tidak mau mati dalam keadaan
tubuh penuh luka bakar akibat meledaknya tabung.
Di sisi kanan, tergantung karung dan pengaitnya. Di sisi kiri
tergantung satu benda yang menarik seluruh perhatian warga yang menjenguknya.
Sebuah bingkai foto, kertas foto di dalamnya sudah menguning, menempel dengan
kaca. Namun, jelas menampakkan foto lelaki tua dan seorang perempuan.
Dalam foto itu, lelaki itu tampak bahagia. Tersenyum. Tangan kanannya
merangkul pundak si perempuan yang menguncir kuda rambutnya. Warga mulai
menebak-nebak di mana foto itu diambil, latar belakang foto itu hamparan rumput
yang luas dan pada usia berapa mereka difoto. Namun tak ada satu pun yang
berani menanyakannya ke lelaki itu, tidak di saat lelaki itu terbaring lemah
dan mau sedang memeluknya.
Suara batuk lelaki tua itu menyadarkan warga dan mengalihkan pandangan
mereka dari foto itu. Mereka jongkok di samping lelaki tua itu. Seseorang
mengambil bingkai foto dan menyerahkan ke lalaki tua itu dan meminta lainnya
mengambil segepok surat yang disimpan di bawah tumpukan bajunya di dalam
kardus.
“Jika suatu hari dia datang atau kalian melihatnya di jalan, tolong
berikan ini kepadanya.”
Kalimat itu menutup perkataannya, menutup hidupnya. Napasnya
tersengal-sengal setelah mengatakan itu lalu hilang seluruhnya. Mulutnya
menganga, matanya terbuka. Bahkan di akhir hidupnya lelaki itu tak pernah
tersenyum. Dia mati dengan meninggalkan pesan dan membuat warga sedikit
menyesal telah menjenguknya. Hanya menyusahkan saja, pikir mereka. Pak RT yang
ingin terlihat berwibawa itu mengurus proses pemakamannya dan membawa bingkai
foto serta segopok surat itu ke rumahnya.
0 comments:
Posting Komentar