Wajah-wajah orang jatuh cinta, wajah yang memancarkan aura bahagia. Kamu
dapat melihatnya di film 500 Days of Summer, ketika Tom Hansen berjalan sambil
bernyanyi dan seluruh orang tersihir melihatnya, ikut menari dan bernyanyi bersamanya.
Aku tak menyadarinya hingga dia menyikut lembut tubuhku. Sepanjang hari, kamu
selalu tersenyum, godanya dan membuatku kikuk sendiri.
“Aku jemput kamu besok sore.”
“Kemana?”
“Bawa yang kamu butuhkan dan jangan banyak bertanya.”
Aku menggerakkan tangan kananku dari ujung bibir sebelah kiri ke kanan,
seperti menarik risletting pada jaket. Dia melakukan hal yang sama dan tidak
bertanya lagi setelahnya. Mengecup pipiku, berjalan menuju pintu dan
melambaikan tangan sebelum pintu menghalangi punggungnya dari pandanganku.
Motorku telah terparkir manis di depan rumahnya, satu panggilan singkat
cukup membuatnya keluar dan membawakan senyum manisnya untukku. Siap kapten,
katanya setelah duduk di jok belakang motorku. Memelukku erat. Kulajukan motor
perlahan, kami tak dikejar apapun, tak diburu apapun. Aku ingin merekam momen
bahagia dengannya selama mungkin, kupikir dia menginginkan hal yang sama.
Selama perjalanan, dia bertanya beberapa kali kepadaku mengenai tujuan
perjalanan ini. Aku tak mengacuhkannya dan membuatku harus menerima beberapa
cubitan di pinggangku. Semakin menanjak, semakin banyak warung-warung berjajar.
Udara dingin dan jernih menyambut kedatangan kami. Kamu perlu menghirup aroma
hutan, bukan hutan sebenarnya memang. Setidaknya, bukan beton-beton tinggi yang
selalu kamu lihat setiap harinya,” ucapku, memarkirkan motor di depan sebuah
warung yang terbuat dari anyaman bambu.
Aku tak bisa menahan senyum melihat ekspressinya ketika sepiring ubi
cilembu diletakkan di atas meja. Dengan sigap dia membelah sepotong ubi menjadi
dua, kepulan asap yang dikeluarkan dari ubi berwarna kuning madu itu membuatnya
tak bisa menahan diri untuk mengambilnya dan meniup-niupkannya. Digigitnya ubi
itu dan mulutnya menganga menahan panas yang belum hilang.
“Hahasiknya haakan shagi pahas,” ucapnya. Aku mengernyitkan dahi, tak
memahami ucapannya. “Asiknya dimakan selagi panas,” jelasnya setelah sepotong
ubi melewati tenggorokannya.
Aku merekam wajahnya melalui ponsel. Tangannya mengibas-ngibaskan
kepulan asap, meniup-niupnya dan memakannya. Saking asik merekam wajahnya, aku
lupa meminum kopiku yang begitu cepat menjadi dingin dan hanya tersisa satu
potong ubi di atas piring yang penuh tadi. Dia melihatku, meminta persetujuan.
Aku menggeser piring itu sebagai tanda baginya untuk menghabiskan sepotong lagi
lalu memesan indomie rebus dengan potongan rawit dan perasaan buah limau.
Dia menepuk-nepuk perutnya lalu mengeluarkan perlengkapan gambarnya.
Aku tengah sibuk dengan makananku. Pemandangan kebun teh yang terhampar luas
sepanjang mata melihat, indomie rebus, kopi hitam, dan orang yang kucintai ada
di sampingku, rasanya aku tak membutuhkan apa-apa lagi di hidup ini.
“Udah malam, pulang kita?”
“Ada satu tempat lagi yang ingin kutunjukkan ke kamu. Tapi, malam ini
kita cari penginapan dulu. istirahat, besok pagi baru kesana,” jelasku dan
dibalas dengan sikap hormat seperti seorang prajurit yang menerima perintah
dari atasannya.
Sepanjang malam, aku memeluknya. Peluk aku sampai tidur ya, pintanya.
Bahkan, setelah dia terlelap pun, aku tak mengendurkan pelukanku, sedikit pun
tidak. Aroma tubuhnya, hembusan halus napasnya yang menyentuh pipiku, rambut
panjangnya yang menimpa wajahku saat dia bergerak pelan dalam tidurnya, sesuatu yang ingin kuabadikan
dalam kepalaku. Kukekalkan dalam ingatanku.
“Kenapa belum tidur?” sebentar lagi jawabku. Dia merapatkan tubuhku ke
tubuhku. Membenamkan wajahnya di dadaku. Aku mengecup kepalanya, mengucapkan
selamat tinggal sementara pada dunia dan ingin terbenam dalam mimpi yang indah.
Sinar matahari masuk melalui celah-celah udara, menampar wajahku.
Membuat mataku panas dan terbangun. Aku tak menemukannya di sampingku. Kusibak
selimut dan berjalan keluar penginapan. Dia tengah asik duduk sambil
menggenggam secangkir teh hangat, membiarkan tubuhnya dihangatkan sinar
matahari pagi.
“Dengkurmu sedikit mengganggu.”
Aku hanya tersenyum, mengambil cangkir teh dari tangannya dan
meminumnya. Dia merengut, aku mengacak-acak rambutnya lalu dia tersenyum. Kemana
hari ini, pertanyaannya kujawab dengan tarikan tangan dan memintanya berganti
pakaian.
Jalan masih lengang, penjaga loket masih tampak segar, rambutnya belum
kering benar. Aku memintanya duduk di depan loket, aku masuk ke dalam dan
membeli dua tiket dan membayar jasa guide. Awalnya, membayar guide
untuk tujuan wisata yang tidak jauh ini hanya upaya sebuah mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya dari pengunjung. Baru kuketahui belakangan, guide
tidak hanya memandu pengunjung tetapi juga memastikan pengunjung menaati
peraturan agar terhindar dari bahaya.
Aku dan dia mengekor di belakang pemandu. Berjalan pelan, menikmati
aroma hutan dan membasuh muka dengan air yang mengalir jernih. Dia tampak
terkejut ketika melihat jembatan membentang di hadapannya, canopy bridge.
Jembatan itu menggantung sepanjang 140 meter dengan ketinggian 50 meter.
“Aku mau gambar ini,” ujarnya penuh antusias.
Aku meminta pemandu kami sedikit bersabar menunggu kekasihku
menggambar. Dari obrolan singkat dengan pemandu, baru kuketahui, jembatan ini
dibangun pada tahun 2009. Awalnya, hanya
diperuntukkan bagi para peneliti yang sedang mengobservasi alam dan memastikan
spesies burung yang tersisa di hutan ini. Pada tahun 2012, jembatan ini resmi
diperuntukkan bagi umum. Pada tahun 2013, jembatan ini mulai ramai dibicarakan.
Jembatan ini hanya mampu menampung berat 350 kg, setara dengan lima orang. Guide
memastikan pengunjung tidak melewati daya tampung dari jembatan ini.
“Yuk,” ajaknya. Mengapit lenganku dan berjalan melewati jembatan
gantung itu. Aku dan dia bergantian memotret dan meminta pemandu mengambil
gambar kami berdua.
300 meter dari jembatan, air terjun Ciwalen menyambut kami. tidak
sebesar air terjun Cibereum. Jumlah pengunjung pun hanya sedikit. Justru itulah
kenikmatannya, semakin sedikit yang datang, semakin kami bisa menikmati
keindahannya.
# # #
Pertengkaran-pertengkaran kecil hal biasa terjadi dalam sebuah
hubungan, hubunganku dengannya tidak terlepas dari pertengkaran. Semacam
hiburan agar tidak jenuh menjalaninya. Pertengkaran hebat pernah terjadi,
biasanya, kami masing-masing memberi jeda, mengambil waktu, mencoba berpikir
jernih. Jeda yang singkat, satu malam, namun terasa begitu panjang tanpa kabar
dan obrolan.
Aku juga pernah mengajaknya ke tempat yang sama, bukan melewati
jembatang gantung, tetapi ke curug Cibereum. Kami juga mendatangi kebun
raya beberapa kali, dia sibuk menggambar, aku berbaring di atas rumput. Kadang,
kami hanya mengobrol di kafe yang terletak di sana. Tak jarang, dia menemaniku
bekerja di coffee shop. Seringnya sambil menggambar, terkadang hanya
duduk manis sambil membaca buku.
Enam bulan berlalu, kurasakan sikapnya yang berubah drastis. Dia
seperti menarik jarak denganku, membantangkan jarak sedikit demi sedikit.
Obrolan yang menghiasi layar telepon genggam kami hanya sebatas ucapan selamat
pagi dan selamat malam. Tidak ada cerita mengenai pekerjaan, tidak ada
cerita-cerita ringan, tidak ada obrolan mengenai cuaca yang meskipun absurd
seringkali kami bicarakan. Bahkan, dia tidak mau menemuiku.
“Beri aku jeda, aku butuh spasi.”
Aku mengiyakan permintaannya. Sesekali kukirimkan pesan kepadanya,
sekadar menanyakan kabarnya. Dia tidak membalasnya, membacanya pun tidak.
Aku mulai terbiasa dengan ketidakhadirannya dalam hidupku. Perasaan
hilang yang awalnya begitu besar semakin surut. Jika sebelumnya aku seperti
seorang peselancar yang merindukan ombak besar, bergulung-gulung di atasnya,
kini, aku tak lebih dari seseorang yang merindukan pantai tapi hanya
menyentuhnya dengan ujung kakiku. Sesekali membiarkan pecahan ombak membasahi
celana yang sedikit kugulung. Seperti itu perasaanku padanya.
“Aku butuh bicara,” kataku kepadanya melalui pesan singkat.
Kita tak bisa terus-menerus menghindar. Berlari hanya akan menghasilkan
rasa lelah. Kita harus menghadapinya bersama-sama. Esok malam, aku akan
meneleponmu, balasnya dalam pesan singkat. Bahkan, membicarakan hubungan
sepenting ini pun, dia hanya ingin melalui sambungan telepon. Tak ingin
berjumpa denganku.
# # #
“Lukamu sudah sembuh benar?” tanyanya, setelah pertanyaan basa-basi
seperti apa kabar dan kesibukanku belakangan ini.
“Sudah. Kenapa?”
“Maaf, jika lukamu harus basah kembali,” ucapnya pelan.
“Maksudnya?”
“Aku menyayangimu. Aku tidak berbohong tentang perasaan ini. Tapi aku .
. . aku hanya belum bisa memercayakan hatiku kepadamu. Lukaku belum sembuh dan
ini tidak adil bagimu. Kamu menyayangiku begitu besarnya dan aku tidak bisa
memberikan rasa yang setimpal untukmu. Sebaiknya kita berpisah.”
“Tidak ada ukuran dalam hal perasaan. Aku tidak tahu, setimpal atau
tidak. Aku menyayangimu. Tapi aku tidak bisa memaksa seseorang terus bersamaku.
Aku tidak ingin dikasihani. Aku tidak mau berjuang sendiri. Jika itu yang kamu
inginkan, aku menerimanya. Semoga hidupmu bahagia.”
“Maaf. Maaf. Maaf.”
Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Kuakhiri sambungan telepon
kami, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kata maaf, sebanyak apa pun
diucapkannya tidak membuat luka di hatiku sembuh, malah semakin menganga.
Dan aku, tak lagi merindukan pantai. Tak lagi menginjakkan kaki di atas
pasir putih dan membiarkan kaki-kakiku basah terciprat anak-anak ombak. Aku tak
ingin lagi merindunya. Tak lagi ingin mengingatnya.
0 comments:
Posting Komentar