Jurang (2)


Wajah-wajah orang jatuh cinta, wajah yang memancarkan aura bahagia. Kamu dapat melihatnya di film 500 Days of Summer, ketika Tom Hansen berjalan sambil bernyanyi dan seluruh orang tersihir melihatnya, ikut menari dan bernyanyi bersamanya. Aku tak menyadarinya hingga dia menyikut lembut tubuhku. Sepanjang hari, kamu selalu tersenyum, godanya dan membuatku kikuk sendiri.
“Aku jemput kamu besok sore.”
“Kemana?”
“Bawa yang kamu butuhkan dan jangan banyak bertanya.”
Aku menggerakkan tangan kananku dari ujung bibir sebelah kiri ke kanan, seperti menarik risletting pada jaket. Dia melakukan hal yang sama dan tidak bertanya lagi setelahnya. Mengecup pipiku, berjalan menuju pintu dan melambaikan tangan sebelum pintu menghalangi punggungnya dari pandanganku.
Motorku telah terparkir manis di depan rumahnya, satu panggilan singkat cukup membuatnya keluar dan membawakan senyum manisnya untukku. Siap kapten, katanya setelah duduk di jok belakang motorku. Memelukku erat. Kulajukan motor perlahan, kami tak dikejar apapun, tak diburu apapun. Aku ingin merekam momen bahagia dengannya selama mungkin, kupikir dia menginginkan hal yang sama.
Selama perjalanan, dia bertanya beberapa kali kepadaku mengenai tujuan perjalanan ini. Aku tak mengacuhkannya dan membuatku harus menerima beberapa cubitan di pinggangku. Semakin menanjak, semakin banyak warung-warung berjajar. Udara dingin dan jernih menyambut kedatangan kami. Kamu perlu menghirup aroma hutan, bukan hutan sebenarnya memang. Setidaknya, bukan beton-beton tinggi yang selalu kamu lihat setiap harinya,” ucapku, memarkirkan motor di depan sebuah warung yang terbuat dari anyaman bambu.
Aku tak bisa menahan senyum melihat ekspressinya ketika sepiring ubi cilembu diletakkan di atas meja. Dengan sigap dia membelah sepotong ubi menjadi dua, kepulan asap yang dikeluarkan dari ubi berwarna kuning madu itu membuatnya tak bisa menahan diri untuk mengambilnya dan meniup-niupkannya. Digigitnya ubi itu dan mulutnya menganga menahan panas yang belum hilang.
“Hahasiknya haakan shagi pahas,” ucapnya. Aku mengernyitkan dahi, tak memahami ucapannya. “Asiknya dimakan selagi panas,” jelasnya setelah sepotong ubi melewati tenggorokannya.
Aku merekam wajahnya melalui ponsel. Tangannya mengibas-ngibaskan kepulan asap, meniup-niupnya dan memakannya. Saking asik merekam wajahnya, aku lupa meminum kopiku yang begitu cepat menjadi dingin dan hanya tersisa satu potong ubi di atas piring yang penuh tadi. Dia melihatku, meminta persetujuan. Aku menggeser piring itu sebagai tanda baginya untuk menghabiskan sepotong lagi lalu memesan indomie rebus dengan potongan rawit dan perasaan buah limau.
Dia menepuk-nepuk perutnya lalu mengeluarkan perlengkapan gambarnya. Aku tengah sibuk dengan makananku. Pemandangan kebun teh yang terhampar luas sepanjang mata melihat, indomie rebus, kopi hitam, dan orang yang kucintai ada di sampingku, rasanya aku tak membutuhkan apa-apa lagi di hidup ini.
“Udah malam, pulang kita?”
“Ada satu tempat lagi yang ingin kutunjukkan ke kamu. Tapi, malam ini kita cari penginapan dulu. istirahat, besok pagi baru kesana,” jelasku dan dibalas dengan sikap hormat seperti seorang prajurit yang menerima perintah dari atasannya.
Sepanjang malam, aku memeluknya. Peluk aku sampai tidur ya, pintanya. Bahkan, setelah dia terlelap pun, aku tak mengendurkan pelukanku, sedikit pun tidak. Aroma tubuhnya, hembusan halus napasnya yang menyentuh pipiku, rambut panjangnya yang menimpa wajahku saat dia bergerak  pelan dalam tidurnya, sesuatu yang ingin kuabadikan dalam kepalaku. Kukekalkan dalam ingatanku.
“Kenapa belum tidur?” sebentar lagi jawabku. Dia merapatkan tubuhku ke tubuhku. Membenamkan wajahnya di dadaku. Aku mengecup kepalanya, mengucapkan selamat tinggal sementara pada dunia dan ingin terbenam dalam mimpi yang indah.
Sinar matahari masuk melalui celah-celah udara, menampar wajahku. Membuat mataku panas dan terbangun. Aku tak menemukannya di sampingku. Kusibak selimut dan berjalan keluar penginapan. Dia tengah asik duduk sambil menggenggam secangkir teh hangat, membiarkan tubuhnya dihangatkan sinar matahari pagi.
“Dengkurmu sedikit mengganggu.”
Aku hanya tersenyum, mengambil cangkir teh dari tangannya dan meminumnya. Dia merengut, aku mengacak-acak rambutnya lalu dia tersenyum. Kemana hari ini, pertanyaannya kujawab dengan tarikan tangan dan memintanya berganti pakaian.
Jalan masih lengang, penjaga loket masih tampak segar, rambutnya belum kering benar. Aku memintanya duduk di depan loket, aku masuk ke dalam dan membeli dua tiket dan membayar jasa guide. Awalnya, membayar guide untuk tujuan wisata yang tidak jauh ini hanya upaya sebuah mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengunjung. Baru kuketahui belakangan, guide tidak hanya memandu pengunjung tetapi juga memastikan pengunjung menaati peraturan agar terhindar dari bahaya.
Aku dan dia mengekor di belakang pemandu. Berjalan pelan, menikmati aroma hutan dan membasuh muka dengan air yang mengalir jernih. Dia tampak terkejut ketika melihat jembatan membentang di hadapannya, canopy bridge. Jembatan itu menggantung sepanjang 140 meter dengan ketinggian 50 meter. 

“Aku mau gambar ini,” ujarnya penuh antusias.
Aku meminta pemandu kami sedikit bersabar menunggu kekasihku menggambar. Dari obrolan singkat dengan pemandu, baru kuketahui, jembatan ini dibangun pada  tahun 2009. Awalnya, hanya diperuntukkan bagi para peneliti yang sedang mengobservasi alam dan memastikan spesies burung yang tersisa di hutan ini. Pada tahun 2012, jembatan ini resmi diperuntukkan bagi umum. Pada tahun 2013, jembatan ini mulai ramai dibicarakan. Jembatan ini hanya mampu menampung berat 350 kg, setara dengan lima orang. Guide memastikan pengunjung tidak melewati daya tampung dari jembatan ini.
“Yuk,” ajaknya. Mengapit lenganku dan berjalan melewati jembatan gantung itu. Aku dan dia bergantian memotret dan meminta pemandu mengambil gambar kami berdua.
300 meter dari jembatan, air terjun Ciwalen menyambut kami. tidak sebesar air terjun Cibereum. Jumlah pengunjung pun hanya sedikit. Justru itulah kenikmatannya, semakin sedikit yang datang, semakin kami bisa menikmati keindahannya.
# # #
Pertengkaran-pertengkaran kecil hal biasa terjadi dalam sebuah hubungan, hubunganku dengannya tidak terlepas dari pertengkaran. Semacam hiburan agar tidak jenuh menjalaninya. Pertengkaran hebat pernah terjadi, biasanya, kami masing-masing memberi jeda, mengambil waktu, mencoba berpikir jernih. Jeda yang singkat, satu malam, namun terasa begitu panjang tanpa kabar dan obrolan.
Aku juga pernah mengajaknya ke tempat yang sama, bukan melewati jembatang gantung, tetapi ke curug Cibereum. Kami juga mendatangi kebun raya beberapa kali, dia sibuk menggambar, aku berbaring di atas rumput. Kadang, kami hanya mengobrol di kafe yang terletak di sana. Tak jarang, dia menemaniku bekerja di coffee shop. Seringnya sambil menggambar, terkadang hanya duduk manis sambil membaca buku.
Enam bulan berlalu, kurasakan sikapnya yang berubah drastis. Dia seperti menarik jarak denganku, membantangkan jarak sedikit demi sedikit. Obrolan yang menghiasi layar telepon genggam kami hanya sebatas ucapan selamat pagi dan selamat malam. Tidak ada cerita mengenai pekerjaan, tidak ada cerita-cerita ringan, tidak ada obrolan mengenai cuaca yang meskipun absurd seringkali kami bicarakan. Bahkan, dia tidak mau menemuiku.
“Beri aku jeda, aku butuh spasi.”
Aku mengiyakan permintaannya. Sesekali kukirimkan pesan kepadanya, sekadar menanyakan kabarnya. Dia tidak membalasnya, membacanya pun tidak.
Aku mulai terbiasa dengan ketidakhadirannya dalam hidupku. Perasaan hilang yang awalnya begitu besar semakin surut. Jika sebelumnya aku seperti seorang peselancar yang merindukan ombak besar, bergulung-gulung di atasnya, kini, aku tak lebih dari seseorang yang merindukan pantai tapi hanya menyentuhnya dengan ujung kakiku. Sesekali membiarkan pecahan ombak membasahi celana yang sedikit kugulung. Seperti itu perasaanku padanya.
“Aku butuh bicara,” kataku kepadanya melalui pesan singkat.
Kita tak bisa terus-menerus menghindar. Berlari hanya akan menghasilkan rasa lelah. Kita harus menghadapinya bersama-sama. Esok malam, aku akan meneleponmu, balasnya dalam pesan singkat. Bahkan, membicarakan hubungan sepenting ini pun, dia hanya ingin melalui sambungan telepon. Tak ingin berjumpa denganku.
# # #
“Lukamu sudah sembuh benar?” tanyanya, setelah pertanyaan basa-basi seperti apa kabar dan kesibukanku belakangan ini.
“Sudah. Kenapa?”
“Maaf, jika lukamu harus basah kembali,” ucapnya pelan.
“Maksudnya?”
“Aku menyayangimu. Aku tidak berbohong tentang perasaan ini. Tapi aku . . . aku hanya belum bisa memercayakan hatiku kepadamu. Lukaku belum sembuh dan ini tidak adil bagimu. Kamu menyayangiku begitu besarnya dan aku tidak bisa memberikan rasa yang setimpal untukmu. Sebaiknya kita berpisah.”
“Tidak ada ukuran dalam hal perasaan. Aku tidak tahu, setimpal atau tidak. Aku menyayangimu. Tapi aku tidak bisa memaksa seseorang terus bersamaku. Aku tidak ingin dikasihani. Aku tidak mau berjuang sendiri. Jika itu yang kamu inginkan, aku menerimanya. Semoga hidupmu bahagia.”
“Maaf. Maaf. Maaf.”
Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Kuakhiri sambungan telepon kami, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kata maaf, sebanyak apa pun diucapkannya tidak membuat luka di hatiku sembuh, malah semakin menganga.
Dan aku, tak lagi merindukan pantai. Tak lagi menginjakkan kaki di atas pasir putih dan membiarkan kaki-kakiku basah terciprat anak-anak ombak. Aku tak ingin lagi merindunya. Tak lagi ingin mengingatnya.



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar