dermaga sunyi; percakapan dua orang yang pernah saling mencintai



Berjalanlah, terus berjalan. Sejatinya hidup adalah langkah-langkah yang tidak pernah berhenti. Setiap jengkal yang kamu ambil, setiap langkah yang kamu upayakan dengan susah payah, memberi hasil. Kamu hanya perlu melangkah. Singgah jika lelah dan melangkah lagi. Melangkah lagi, lagi dan lagi. Hingga tidak ada lagi kekuatan yang tersisa di dirimu, pasrahlah. Dan biarkan ajal tersenyum menjemputmu.
Kalimat itu yang terus menggaung di kepalaku. Kalimat itu juga yang akhirnya membuatku terdampar di tempat ini. Di dermaga sunyi, ditemani anak-anak ombak yang membasahi kakiku. Kapal-kapal nelayan yang diikat di beton, bergoyang lembut mengikuti irama laut. Bulan yang redup tertutup awan hitam tipis, bintang seperti menghilang, tersamarkan malam yang mendung.  
Tidak ada yang menyukai dermaga sunyi. Riuh suara manusia seperti angin lembut yang lewat begitu saja. Mereka membutuhkan keramaian, tempat berteduh di warung-warung penjual bir, bergelas-gelas kopi hitam, indomie rebus yang menemani malam-malam panjang mereka. Hanya aku dan sunyi yang memilih dermaga sepi.
Para nelayan belum datang, belum waktunya melepas tali-temali yang terikat di tiang-tiang dermaga. Bertarung melawan dinginnya angin laut, bertarung dalam gelap mencari ikan demi perut yang selalu minta diisi. Demi istri yang memasak setiap hari dan anak-anak yang kebutuhannya bertambah setiap harinya.
Di gelapnya malam, seberapa besar pun ombak, hanya suaranya yang terdengar. Terpecah-pecah menabrak karang dan hanya menyisakkan kaki-kaki kecilnya yang menggelitik kakiku.
“Bir,” katanya sambil meletakkan sebotol bir di samping kiri tubuhku. Sebotol bir menjadi pembatas antara diriku dan dirinya. Dia merapatkan risletting jaketnya hingga ke ujung leher, berusaha menghalau angin yang masuk ke tubuhnya. “Tuan pesimis, kamu masih saja murung dan tampak kacau seperti biasanya.”
Dan kamu masih cantik seperti dulu, membuatku ingin memelukmu, membelai rambutmu. Kata itu hanya terucap di hatiku. “Dan kamu masih terlihat energik seperti biasanya, hanya... akh sudah lah tak jadi,” kataku.
“Hanya apa?” todongnya.
“Kamu lebih cantik dengan rambut potongan barumu.”
Perempuan di sebelahku menyikut lenganku lembut dan tersenyum. Mengubah posisi tubuhnya, sedikit miring ke kanan, menatapku dengan tatapan seorang penyidik polisi yang sedang mengintrogasi penjahat. “Ayolah, Bim, jangan bohong. Aku kenal kamu melebihi diriku sendiri. Di hadapanku, kebohonganmu tidak berguna.”
“Hanya saja . . . . matamu lebih redup. Bukan mata yang kukenal dulu,” kataku dan aku menyesali perkataanku tadi. Sudah terucap, tak bisa ditarik lagi. Malam-malam murung resmi dimulai hanya karena kebodohanku barusan.
“Kita tidak sedang membicarakan diriku, kita membicarakan kamu. Kamu terlihat kacau dan berantakan, Bim. Masih tentangku?”
“Jangan geer, Nai. Hidupku tidak selalu tentangmu. Kamu terlalu besar kepala jika beranggapan seperti itu.”
“ Dasar Tuan pemarah. Berarti kita sedang membicarakan orang lain. Siapa dia?”
“Bagimu orang lain, kamu tidak mengenalnya. Bagiku dia bukan orang lain, sebagian diriku tersangkut di hatinya. Sebagian dirinya, melekat kuat di hati dan pikiranku.”
Aku menceritakan kisah cintaku kepadanya, tidak seluruhnya, ada bagian-bagian yang tetap kurahasiakan. Bukan jatahnya, bukan porsinya untuk mendengarkan seluruh kisahku. Ada bagian-bagian khusus yang kuceritakan kepada sahabatku, bagian lain, kusimpan untukku sendiri. Bagian yang ingin kukekalkan dalam diriku sendiri, cukup aku yang tahu. Tuhan pasti tahu, tapi tuhan menyimpannya, tidak membaginya ke orang lain.
“JIka kamu berhasil melewati segala kekacauan setelah putus denganku, kali ini pun sama. Kamu pasti bisa melewatinya.”
Nai memelukku, menenangkanku. Aku selalu menyukai pelukan. Bagiku, pelukan menenangkan. Kecupan bibir, seromantis apa pun, menimbulkan gairah yang mendorongmu untuk meminta lebih. Pelukan menghangatkan dan aku merasa cukup dengan itu.
“Dan aku butuh bertahun-tahun menyembuhkan lukaku darimu. Tahun-tahun panjang yang melelahkan. Tahun-tahun penuh kehancuran.”
“Tapi kamu masih di sini. Minum bir, menghisap berbatang-batang rokok. Bim, sehancur-hancurnya dirimu, selama kamu masih hidup, artinya kamu hidup. bBelajar pelan-pelan memaafkan dirimu sendiri. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Titik pusat hubungan manusia berlaku dua orang, jangan bebankan semua pada dirimu.”
Nai melepaskan pelukannya dariku. Jemarinya masih mengisi sela jemariku. Menyandarkan kepalanya pada bahuku. Menatap langit mendung, menatap laut gelap. Tidak ada pantulan bulan di permukaan air. Tidak ada cahaya selain lampu kuning yang redup di ujung dermaga.
“Redup matamu?”
Nai menarik kepalanya. Mengambil satu batang rokok, menyelipkannya di bibir. Mamainkannya dengan kedua jarinya tapi tidak menyulutnya. Manarik jeda, memilih kata-kata sebelum keluar dari bibirnya dan membuatnya menyesal pernah mengatakannya. Jeda yang cukup panjang, cukup untukku menghabiskan sebatang rokok.
“Selalu ada yang tidak baik dalam hidup ini, Bim. Aku tidak mencintainya, tapi kusediakan diriku untuk belajar mencintainya. Perasaan lelah kadang mampir, membuatku ingin menyerah. Tapi, dia baik dan mencintaku dengan segala yang dimilikinya. Selalu ada yang tidak sempurna di hidup ini, tapi kita harus menanggung jatah kita.”
Dia berdiri, membalik botol biar di tangannya, beberapa tetes jatuh ke tanah. Dia membalik tubuhnya, berbalik arah meninggalkanku.
“Bim,” panggilnya, membuatku menoleh kepadanya. “Ingat, aku selalu ada dan ketika aku kacau, aku selalu ingat, kamu ada. Kita mungkin tidak bisa manghadirkan hidup kita dalam sebuah ikatan pernikahan, tapi kita sama-sama tau, masing-masing dari kita selalu ada untuk satu sama lain.”
Aku menatap punggungnya yang pelan-pelan menjauh dariku. Aku selalu ada untukmu, ucapku dalam hati.



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar