Aku mulai terbiasa dengan ketidakhadirannya dalam hidupku. Perasaan
hilang yang awalnya begitu besar semakin surut. Jika sebelumnya aku seperti
seorang peselancar yang merindukan ombak besar, bergulung-gulung di atasnya,
kini, aku tak lebih dari seseorang yang merindukan pantai tapi hanya
menyentuhnya dengan ujung kakiku. Sesekali membiarkan pecahan ombak membasahi
celana yang sedikit kugulung. Seperti itu perasaanku padanya.
Aku mengenalnya dua tahun lalu saat kami mengerjakan project event
pariwisata. Aku bertanggung jawab sebagai Head Contet dan Promotion. Dia
menerjemahkan dan mengemas content yang kubuat dalam bentuk desain yang
menarik. Sejujurnya, aku tak terlalu suka dengan desainnya. Meski tak memahami
betul, sekilas, tampak sama di mataku. Padahal, pesan yang ingin kusampaikan berbeda-beda
dan seharusnya memiliki corak yang berbeda. Karena itu, jarang sekali eksekusi
pengerjaan desain berjalan mulus, selalu saja ada perdebatan dengannya.
Malam itu, aku sengaja tak membahas pekerjaan. Kuajak dia ke salah satu
kedai kopi dan mengajaknya mengobrol. Aku ingin tahu karakternya, apa yang
membuatnya begitu keras kepala dan tidak mengindahkan revisi yang kuminta. Kamu
berlagak seperti bos, tidak menghargai orang lain, katanya tanpa mengalihkan
pandangannya dari minumannya.
“Masa? kayaknya biasa aja atau aku terlalu kaku kali ya. Lain kali
nggak akan, eh, bukan lain kali, besok deh mulai kerja lagi,” kataku.
“Yap. Kalau masih berlagak bos, aku males,” jawabnya sambil tersenyum.
Senyuman yang pertama kali kulihat. Balok es itu mencair juga rupanya.
Pekerjaan sesekali berlangsung alot, jika memasuki fase ini, yang
kulakukan adalah duduk di sampingnya. Bertanya kepadanya sambil memasukkan
ide-ide di dalam kepalaku. Tidak mendikte tetapi apa yang ada di dalam kepalaku
tersampaikan dengan jernih. Tidak ada perdebatan dan tidak ada tenggat waktu
yang dilanggar.
Jumat sore, aku sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Kepalaku
penuh dan aku membutuhkan secangkir kopi panas sambil bengong menatap jalan
raya yang semakin hari semakin semrawut saja. bahkan, akhir pekan yang lengang
hampir sulit ditemukan, seperti mitos yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Jalan raya tetap saja ramai meski tidak seramai seperti hari kerja.
Aku melihatnya duduk di trotoar, melipat kedua kakinya, membentuk
posisi sila. Di pangkunya sebuah buku, tangan kanannya sibuk bermain di atas
kertas putih itu. Sesekali mendongak, memerhatikan pemandangan di depannya. Aku
tak ingin menyapanya, tidak ingin membahas pekerjaan, tidak ingin membahas
apapun dengan siapa pun. Aku ingin secangkir kopi dan melamun. Anehnya, aku
malah duduk di sampingnya. Memerhatikan wajahnya yang tertunduk dan terfokus pada
kertas yang dipangkunya.
“Mingkem, Mas.” Tangannya mendorong daguku ke atas. Membuatku tersadar
telah melongo dan tertangkap basah memerhatikannya.
“Sketch kamu keren banget.” Bukan ucapan terima kasih karena
telah memujinya atau senyuman yang kuterima, dia malah menutup bukunya.
“Kepo,” katanya ketus.
Wajah komikalnya jelas membuatku tertawa. Dia tambah cemberut dan
memasukkan buku serta alat gambarnya ke dalam tas, bersiap pergi. Spontan
kutarik tas selempangnya. Coffee, ajakku sebagai permintaan maaf. Dia
diam, menatapku tajam. Kulepaskan tanganku dari tasnya. Dia mengapit tasnya
dengan lengan kanannya, seolah menghadapi penjahat yang berusaha menjambret
tasnya.
“Satu porsi sate padang, dua botol teh sosro dingin. Setelah itu ngopi,
itu baru setimpal dengan permintaan maaf dari orang kepo,” cerocosnya. Aku
mengiyakan permintaannya dan kami berjalan beriringan.
Malam itu kami habiskan dengan mengobrol. Darinya, kuketahui skecht
seperti terapi baginya. Saat sedang jenuh, pusing dengan pekerjaan dan segala
kesemrawutan hidup, dia menggambar. Dia tidak ingin passion-nya dicampur
aduk dengan pekerjaan. Dia satu dari sedikit orang yang menolak menjadikan passion
sebagai lahan pencarian, sesuatu yang diidam-idamkan banyak orang, termasuk
diriku.
Dan profesi desainer grafis dipilihnya, profesi yang tidak jauh dari
dunianya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia menanyakanku kenapa bekerja
sebagai content writer, jelas, ini bukan pilihan. Aku merasa tidak punya
pilihan lain. Aku tidak sengaja menjatuhkan diri pada dunia penulisan, lambat
laut, pekerjaan ini mampu menyambung hidupku. Setidaknya, aku tidak kelaparan.
Diam-diam rasa iri menyelinap dalam hatiku. Tambah lagi satu orang yang
memiliki passion dalam daftar kenalanku. Beberapa tahun silam, aku seperti
kutu loncat. Pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Tidak dalam
hitungan tahun, bahkan, aku pernah mengundurkan diri hanya satu hari kerja. Track
record-ku buruk. Hanya sedikit perusahaan yang mau memperkejakanku.
Aku terobsesi menemukan passion dalam diriku. Sesuatu yang
hilang sejak menginjakkan kaki di bangku sekolah menengah. Aku tidak pernah
punya cita-cita, tidak juga keinginan besar yang ingin dicapai.
“Banyak banget di dunia ini yang ingin bekerja sesuai passionnya,
tetapi lebh banyak yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Passion,
tidak selalu berkaitan dengan pekerjaan. Jangan batasi dirimu hanya untuk satu
pencarian,” kata temanku.
Setelah tahun-tahun yang panjang dan melelahkan, aku berhenti
mencarinya. Bukan menyerah, melainkan pasrah. Menyerahkan pada proses hidup. Aku
hanya perlu bekerja sungguh-sungguh, memenuhi kebutuhan hidup dan tidak
bergentung kepada orang lain. Jika aku tidak bisa membantu orang lain,
setidaknya, aku tidak menyusahkan orang lain. Sisanya, kubiarkan waktu yang
mengantarkan passion padaku.
Obrolan malam ini membuka pintu untukkku mengenalnya lebih dekat.
Menemaninya merekam wajah-wajah lalu lalang, kereta dan stasiun. Menemaninya
mengabadikan wajah-wajah bandara udara, pramugari/a yang lelah sehabis
melakukan perjalan di atas burung besi. Peluk dan melepas, tak lepas dari
coretan di buku skectnya.
Jika sedang didera garis mati, aku pergi mencari coffee shop. Menulis
beberapa artikel untuk media cetak dan media daring. Jika waktuku luang, aku
duduk di sampingnya, sesekali menggangunya. Dia akan cemberut dan menatapku
tajam. Sebuah tanda, aku tak boleh mengusiknya dan hanya duduk manis hingga dia
selesai membubuhkan tinta di kertas putihnya. Jika bosan, aku pergi ke smoking
area, merokok dan membiarkannya asik dengan dunianya sendiri.
Perjumpaan-perjumpaan, obrolan-obrolan dan menghabiskan waktu bersama
membuat hatiku jatuh. Hal yang tidak pernah kuprediksi sebelumnya. Lagi pula,
siapa yang mampu memprediksi akan jatuh hati pada seseorang. Aku masih proses
mengeringkan luka, luka yang ditinggalkan seseorang beberapa bulan lalu masih
meninggalkan koreng di hatiku.
Dia belum percaya cinta. Setelah luka kehilangan satu tahun lalu, dia
enggan mempercayakan hatinya pada orang lain. Belum waktunya, entah kapan
waktunya, katanya suatu hari. Namun, kepalaku serasa mau pecah menahan perasaan
ini. Hatiku bergemuruh, ingin meledak rasanya. Setelah menemaninya menggambar
di bandara, di pelataran parkir dekat wc umum setelah menunggunya buang air
kecil, aku menyatakan perasaanku kepadanya. Tangannya yang kuganggam,
ditariknya perlahan dan kami pulang dalam bisu. Tidak ada percakapan, tidak ada
sapaan, bahkan ketika dia tak berbalik menatapku saat memasuki rumahnya.
Aku dihinggapi perasaan bersalah. Bukan, bukan perasaan bersalah karena
telah menyatakan cinta kepadanya. Tidak ada yang salah dari mencintai
seseorang. Perasaan itu datang tanpa diduga dan dia jatuh saat hatiku belum
sembuh benar, jatuh pada seorang perempuan yang enggan berurusan dengan perkara
hati. Aku merasa bersalah tidak memberi jeda. Harusnya, kubiarkan kami
berproses. Belajar mengenal satu sama lain, belajar menaruh percaya.
Tidak ada sapaan pagi hari. Tidak ada yang menggaguku dengn
obrolan-obrolan ringan saat bekerja. Tidak ada obrolan panjang malam hari
menemaninya yang sedang galau atau menemaniku yang selalu sulit memejamkan
mata. Tidak ada percakapan, tidak ada pertemuan. Pesan terakhirku bahkan tak dibalas.
Aku tak ingin mengejarnya, kubiarkan dia mengambil jeda. Rasa kehilangan
memenuhi hati dan pikiranku.
Alangkah rumitnya menjadi manusia. Kita bisa merasakan kehilangan untuk
sesuatu yang bahkan belum kita genggam.
Pesan darinya datang setelah dua minggu menghilang. Kutunggu di taman
dekat Masjid Sunda Kepala, itu pun jika kamu tak sibuk. Pukul tujuh, balasku.
Tak ada balasan lagi darinya.
Dia duduk menghadap patung yang hingga kini tak kupahami artinya.
Balutan kaus hitam polos, rok hitam selutut dan rambutnya yang dicepol
membuatnya seperti anak kecil yang sedang belajar menggambar. Membuatnya,
terlihat begitu manis di mataku. Aku duduk di sampingnya, membiarkannya terus
mengotori kertas putihnya dengan pulpen khusus. Dia melirikku sebentar, hai,
sapanya, lalu melanjutkan kegiatannya.
Kelompok pemain biola dan cello mulai memainkan lagu, kelompok gitar
duduk di atas rumput, jauh dari pandanganku. Sekelompok pecinta kamera tengah
sibuk memotret seorang model cantik mengenakan gaun merah yang berfose membelakangi
air mancur. Bel sepeda penjaja starling (starbuck keliling) berdering, silih
berganti. Satu dua orang memanggilnya, tak kecuali diriku. Meminta segelas kopi
dan sebotol air mineral untuknya.
Dia menatapku sambil tersenyum lalu memasukkan alat gambarnya ke dalam
tas. Duduk menyerong, sehingga wajahnya dapat melihat wajahku secara langsung.
Aku masih di posisi semula saat aku datang.
“Aku tau kamu belum sembuh benar, lantas mengapa kamu bilang suka
padaku,” tanyanya tanpa basa-basi, langsung ke jantung persoalan.
“Itu benar, aku belum sembuh seutuhnya. Tapi aku suka kamu dan aku
tidak bisa menahan perasaanku.”
“Aku tidak ingin memercayakan hatiku pada seseorang yang masih
menyimpan luka di hatinya. Aku tidak ingin gagal lagi, setidaknya, dalam urusan
hati.”
“Beri kesempatan pada hati kita. Kesempatan untukku menyembuhkan luka,
kesempatan untukmu percaya padaku. Kesempatan itu kita tawarkan setiap harinya.
Kita berproses, terus berproses. Kita jalani sama-sama.”
“Terus berproses. Tawarkan kesempatan bagi hati kita. Kubantu merawat
lukamu hingga sembuh. Tawarkan dirimu seutuhnya agar aku percaya padamu.” Dia
menggenggam tanganku, menyela jemariku, menyandarkan kelapanya di pundakku.
Setelah ini, aku dan kamu menjelma KITA.
0 comments:
Posting Komentar