“Akhirnya kamu menikah juga. Apa yang membuatmu memutuskan
untuk menikah dengannya. Setau saya, kamu baru berkenalan beberapa minggu,”
kataku pada seorang teman yang akan menikah besok pagi.
“Dia mau sama saya, buat saya itu cukup.”
“Loh, jadi kamu tidak mencintainya?”
“Saya pernah amat mencintai seseorang dan tidak mampu
memilikinya. Saat itu, cinta saya mati. Saya tidak bisa mencintai orang lain
selain dia. Saya tidak mengatakan tidak bisa hidup tanpa dia, hanya saja, saya
tak bisa mencintai orang lain setelah kehiangan dia. Sampai saat ini saya masih
hidup, meski tidak baik-baik saja tapi bukankah hidup memang tidak pernah
baik-baik saja. Tolong jangan ceramahi saya tentang cinta yang tumbuh dan
sebagainya menjelang hari pernikahan saya. Dia sudah lama mati.”
“Ayolah bro, wake up. Kamu yakin bisa jalani rumah
tangga dengan dia tanpa cinta. Itu hanya akan menyakiti banyak orang nantinya,”
kataku dengan sedikit kesal.
“Terkadang menikah bukan soal cinta saja, bisa saja soal
eksistesi. Umurku sudah tidak muda lagi dan aku butuh pengakuan. Dia juga butuh
pengakuan, kami sama-sama sadar akan hal itu. Tapi bukankah seseorang bisa hidup
dengan orang lain yang tidak dia cintai. Ibu saya dijodohkan dan menikah tanpa
cinta. Mereka bisa hidup bahagia.” Katanya datar.
Aku menenggak bir dalam botol, bir yang tersisa
sedikit itu, kandas seketika. Dia juga menggak bir miliknya. Kami sama-sama
diam. Aku masih memikirkan pernikahannya esok hari. Memikirkan bagaimana dia
bisa menjalani biduk rumah tangga tanpa cinta. Jika pada akhirnya mereka
menyerah di tengah jalan, tentu bukan hanya dia yang tersakiti tetapi juga
pasangannya dan keluarga besar mereka.
Dia menenggak habis bir dalam botolnya. Terdiam dan aku tak
tahu apa yang sedang dipikirkannya.