Aku sebenarnya enggan untuk menemui temanku di salah satu kafe yang terletak di selatan Jakarta. Meski besok hari libur perayaan natal, aku masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan sampinganku. Mendengar suara tangisnya di telpon, tanpa pikir panjang aku langsung merapikan komputer jinjingku dan menuju kesana.
Disana, aku mendapati dirinya yang sedang tertunduk lesu. Maskaranya luntur dan wajahnya pucat pasi.
“Kenapa dia begitu bahagia,” katanya.
Aku ingin bertanya perihal ‘dia’ yang temanku maksudkan. Tapi kuurungkan, aku menunggu lanjutan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hampir satu [.....]
Barangkali, tak semua orang menganggap kita manusia. Kita hanya barang yang dipertaruhkan dan dibuang saat tak lagi layak disimpan.
Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan. Malam itu, aku sedang memikirkan banyak hal dalam hidup. Pekerjaan besar juga menantiku, sehingga kuputuskan untuk menuliskan pesan singkat untuk perpisahan kita pada hari berikutnya, dimana aku sudah tidur seharian dan bisa menuliskannya dengan baik.
Jika kamu berpikir aku akan membencimu setelah kata putus terucap, kamu salah. Aku tentu tak mau membebani hidupku untuk memikirkan satu orang saja. [.....]
Hari ini, aku ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh lima orang berbeda dan mungkin beberapa hari ke depan, akan banyak pertanyaan serupa kepadaku. “Kenapa kamu bisa jatuh hati sama perempuan sombong itu?” begitu pertanyaan mereka. Ada yang mengganti kata “jatuh hati” dengan suka dan ada pula yang mengganti kata” kamu” dengan “Loe”. Tapi intinya sama, mereka ingin tahu kenapa aku bisa menjalin hubungan dengan Namira. Seperti mesin penjawab otomatis, aku menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban seragam. “Aku justru menyukai kesombongannya,” begitu jawabanku kepada mereka tanpa lupa sebelumnya memberi senyum agar terkesan ramah. Aku mengenal Namira dua minggu lalu, tepatnya satu minggu memperhatikannya dan satu minggu perlahan-lahan bisa mendekatinya. Aku dan Namira satu kantor, namun posisi kami yang [.....]
Hai jelek, semoga selalu bahagia yah!
Sudah musim hujan lagi, aku bahkan tak sempat mencicipi musim kemarau sepanjang tahun ini. hujan datang lebih sering dari tahun lalu. Payung yang kita beli di toko dekat kantorku sudah rusak beberapa bulan lalu saking seringnya kupakai. Untungnya, toko yang menjual payung itu masih menyisakan beberapa stok payung yang sama. Aku membelinya tiga sekaligus, berjaga-jaga jika payungku akan rusak kembali.
Tadi pagi si Cemong melahirkan, anak-anaknya lucu. Saat melihatnya, aku langsung mengingatmu. Kamu pasti [.....]
“Bagaimana nanti jika kita berpisah?” katamu sambil mengenakan jaket yang sebelumnya kamu simpan di batangan kursi.
Hujan tiba-tiba saja datang, deras, tanpa aba-aba. Segelas oranye jus yang baru dua kali kamu minum pun kamu biarkan begitu saja, lalu memesan secangkir cokelat hangat. Barangkali hujan seperti pemanggil kesedihan, menggerakkan saraf di otakmu menjadi sendu. Sebelumnya, Jakarta begitu panas. 34 derajat celcius, katamu setelah melihat aplikasi di telpon genggammu. Aku hanya mengiyakan, tak paham bagaimana aplikasi itu bisa menunjukkan panasnya kota ini. Obrolan kita mengenai cuti [.....]
“Aku akan melamarmu bulan depan,” katamu sambil menggenggam erat tanganku. Aku tetap diam, menunggu kata-kata yang keluar setelah kalimat itu. “Jika projek besar ini kudapatkan, kita akan langsung menikah sebulan setelah lamaran berlangsung.”
Lagi-lagi, aku hanya diam. Tak ada sesuatu yang meletup dalam dadaku. Hatiku tak seperti mercon yang siap meledak, ia seperti petasan di pinggir jalan yang dibiarkan dingin. Kalau pun dibakar suaranya tak lagi nyaring. Hatiku sepi-sepi saja, tak lagi bergemuruh. Aku tetap tersenyum seperti biasa, seperti manusia kebanyakan yang mendapat kabar gembira. Kamu tentu saja tak dapat membedakannya, mana senyum tulus dan mana senyum dipaksakan. Kamu terlalu sibuk dengan kebahagiaanmu sendiri.
Aku masih diam, mendengarkan semua andai-andai yang kauciptakan. Mendengarkan impianmu [.....]
Aku mengetik tulisan ini tadi malam, selepas kau pulang dari kosanku. Tentu setelah merapikan sisa makanan dan cemilan yang membuat kamarku berantakan. Abu dari rokokmu beterbangan kemana-mana, membuat pekerjaanku bertambah. Mungkin akan kubelikan asbak, jika tidak sempat membelinya kamu akan kularang merokok dalam kamarku atau kusuruh kau berdiri di depan kosanku sambil menghabiskan kesukaanmu itu. Jika kau cukup pintar, bawa atau belilah asbak sendiri agar kau tetap bisa merokok dalam kamarku.
Hari minggu adalah hari yang sibuk untukku. Maka, kukirm pesan untukmu agar kau tak mengeluh.
# Jangan berharap terlalu banyak menghabiskan waktu denganku. Aku bisa memberimu waktu beberapa jam di hari sabtu tapi tidak samasekali di hari minggu. Sebagai wartawan mingguan tentu pekerjaanku [.....]
Setiap manusia bertumbuh, usia salah satu yang tak bisa kita bantah. Dia bertambah sekaligus berkurang secara bersamaan. Bertambah angka dan berkurang jatah hidup. Ada yang [.....]
“Akhirnya kamu menikah juga. Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah dengannya. Setau saya, kamu baru berkenalan beberapa minggu,” kataku pada seorang teman yang akan menikah besok pagi.
“Dia [.....]
Aku tak bisa melarangmu pergi, memaksamu untuk tetap tinggal juga bukan hakku. Aku ingin meminta sedikit waktu dari waktu-waktu yang kau punya, yang tentu saja sudah kaubagi-bagi dengan banyak orang. Namun, jatahku tak kunjung kau berikan. Jadi, kutuliskan saja beberapa hal yang ingin kukatakan kepadamu melalui surat ini.
Carilah teman untuk menemanimu ngebir sepanjang malam. Jangan biasakan dirimu ngebir sendiri sepanjang malam. Tentu saja, aku tak melarangmu untuk ngebir, hanya saja kau seringkali melakukannya seorang diri. Jangan tiru aku, aku terbiasa tidur di bar jika sudah tidak kuat untuk pulang tapi aku khawatir jika kamu melakukan hal serupa. Di sana, tentu tidak ada aku, maka carilah teman jika kau ingin menghabiskan sepanjang malammu di bar. [.....]
Bunuhlah dengan pisau, bukan dengan kata-kata
Kau tahu, saat marahmu reda dan kembali tersenyum, akan akan selalu membalas dengan senyuman. Sebuah senyuman yang tidak akan pernah sama lagi. Sebuah senyuman formalitas, basa-basi. Karena senyum hangat yang kutawarkan kepadamu telah mati , dia terbunuh dengan kata-katamu. Saat kamu meluapkan segala kata-kata menyebalkan itu di hadapanku, di hadapan orang-orang kemarin [.....]
Aku meletakkan telpon genggamku. Berbaring di atas kasur tipis yang busanya hampir habis. Mataku menatap langit-langit kamar dan pikiranku menembus batas langit-langit itu, mengantarkanku pada sebuah rumah nun jauh di sana. Melihat perempuan tua sedang menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Aku merindukan masakannya dan segala hal tentangnya. Suaranya yang hanya bisa kudengar melalui telpon genggam sedikit mengobati rasa rinduku. Meski suara tetangga tempat ibu meminjam telpon sempat membuatku kesal karena menutupi suara ibu yang pelan. “Tenang bu, lebaran kali ini aku pasti pulang,” gumamku.
Sudah dua lebaran aku tidak pulang ke rumah. Lebaran pertama, aku baru lulus kuliah dan belum mendapatkan kerja. Pekerjaanku sebagai pramuniaga di sebuah toko baju tentu saja tak kuhitung, gajinya kecil dan [.....]
Lelaki itu hanya diam ketika melihat perempuan yang paling dicintainya meninggalkannya di teras rumah sendirian. Dia bahkan tak berani untuk memintanya untuk tetap tinggal dan menemaninya mengobrol. Sebenarnya, dia sudah menyiapkan bahu terhangat yang dia miliki untuk perempuan itu bersandar. Dia juga sudah latihan menyela jemarinya dengan tangannya sendiri agar tidak kaku ketika nanti menyisipkan jari-jarinya di jemari perempuan itu. Tapi lelaki itu hanya diam dan hanya bisa menatap punggung perempuan itu dengan rasa penyesalan lalu membiarkan perempuan itu menutup pintu rumahnya.
“Aku bosan menatap [.....]
“Kapan terakhir kali kamu menangis?” kata seorang teman setelah buka puasa bersama di Kedai Kita, Bogor, sore tadi berakhir. Hanya tinggal kami berdua, lainnya sudah pulang dengan berbagai alasan. Ada yang harus pulang cepat kerena kerja shift malam, ada yang harus menidurkan anaknya yang rewel minta pulang dan ada yang ingin menghabiskan malam minggunya bersama pasangannya. Teman saya punya pasangan tetapi memilih untuk menghabiskan waktu bersama saya, mungkin sedang bertengkar, hal itu terlihat dari pertanyaan yang dilontarkan kepadaku barusan.
Aku hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Aku menyeruput kopi, bahkan saat berbuka puasa pun aku memesan secangkir kopi hitam. Setelah meneguk sedikit, aku mengatakan lupa kapan terakhir kali aku menangis dan perkara menangis [.....]
Kepada Malam, saya sering menitipkan pemikiran dan kegelisahan-kegelisahan saya tentang hidup. Tentang pekerjaan, tentang percintaan, tentang apa saja yang membuat dahi saya berkerut dan kembali menyeruput bergelas-gelas kopi hitam dan berbatang-batang rokok. Saya membaginya dengan Malam tanpa menutupi apa pun. Saya menelanjangi diri saya di depan Malam, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan di depan siapa pun.
Kepada Malam, saya sering manghabiskan waktu untuk mengobrol. Meski terkadang saya sibuk menulis, membaca blog orang-orang atau melihat sosial media. Namun Malam tetap menunggu saya menyelesaikan semuanya, lalu [.....]
“Mau nyerah lagi sama bosan?” katamu sambil memutar-mutar sedotan dalam gelas es teh manismu. Matamu tertuju pada gelas di hadapanmu, posisi yang sama seperti tiga bulan lalu saat aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan dengan alasan yang kamu pertanyakan barusan. “Terserahlah, ini sudah enam kali juga kamu lakukan dan tidak ada gunanya berdebat. Toh, kamu juga akan melakukan apa yang kamu inginkan.”
Aku tak ingin menjelaskan apa pun, kamu pasti sudah hapal kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Tidak ada masalah dengan pekerjaan, aku mengerjakannya sebisaku meski aku tahu itu jauh dari kata maksimal. Aku sadar, aku adalah orang yang agak lambat belajar hal baru. Lelah tentu bukan alasan, bekerja dimana pun selalu melelahkan. Tidak hanya tenaga [.....]
Semalam, temanku melontarkan pertanyaan, apa saja ingatan yang paling melekat pada seseorang tentang mantannya setelah mereka putus. Aku tak menggubris pertanyaan itu dan memutuskan untuk pulang lebih awal karena harus menyelesaikan artikel pesanan dari salah satu bank ternama di kota ini.
Aku baru saja menyelesaikan tulisanku pagi ini. Cukup lama aku mengerjakannya, bukan hanya karena perkara mood, tapi aku perlu reserch sebelum menjadikannya sebuah tulisan yang utuh. Sambil menunggu ngantuk, aku mencatat beberapa hal yang kuingat tentang mantanku pada pagi hari.
Dia selalu menanyakan, tidur jam berapa semalam? Aku mengatakan belum tidur. Sebagai seorang freelancer, aku lebih sering mengerjakan artikel pesanan pada malam hari dan menghabiskan waktu siangku dengan tidur. Selama jadian, hanya beberapa kali [.....]
“Apakah kesedihan selalu tinggal lebih lama daripada kebahagiaan Bu?”
“Apa maksudmu nak?”
“Baru kemarin kita mencicipi musim kemarau tapi hujan sudah datang lagi. Hampir setiap hari dia datang, bahkan seminggu terakhir ini tidak pernah absen,”
Hujan seperti pertanda kesedihan. Langit serupa wajah yang menumpahkan air mata, menggelontorkan butiran-butiran kecil ke bumi. Seperti hujan yang datang lebih sering daripada kemarau tahun ini, kesedihan juga menggelayut lebih lama di rumah kita. Sedangkan kebahagiaan hanya sesekali masuk melalui celah jendela, lalu pergi tertiup angin.
Aku masih ingat saat ibu menangis setelah membaca surat yang kemudian hari kutahu dari lelaki itu. Ya, aku menyebut lelaki itu, bukan ayah, karena aku tak mau menjadi anak dari lelaki pengecut [.....]
Rinduku menggigil semalam. Mengharap pelukmu yang tak kunjung datang. Kini dia telah mati kedinginan.
Aku meletakkan stoples kaca di rak kayu yang tingginya satu setengah meter. Ada beberapa stoples lainnya di sana. Aku pikir, kemarin adalah stoples terakhirku tapi nyatanya aku harus kembali menyimpan satu lagi. Aku menyimpan rindu yang mati dalam stoples itu. Melabelkan namamu di sana agar aku selalu ingat, rinduku untukmu telah mati dan kukubur dalam stoples itu.
Aku coba menyelimutinya dengan harapan. Bukan kah harapan adalah nyala dari kehidupan. Tapi harapanku tak cukup hangat untuk membuatnya terus hidup. Dia butuh kamu, sekadar memeluk dan mengecup keningnya. Dia butuh kamu, sekadar tersenyum manis sambil menyela jemarinya. Dia butuh kamu, sekadar mengatakan [.....]
“Berhentilah menarik-ulur nak, kamu memang mahir menerbangkan layanglayang dan memenangkan sebuah pertandingan. Tapi kamu pemain yang buruk soal perasaan. Berhentilah menarik-ulur, karena itu hanya akan melukai hati seseorang dan dirimu sendiri.”
[.....]
Dalam dua bulan ini sudah beberapa kali aku ke Bandung, baik untuk urusan pekerjaan maupun jalanjalan. Ada launching buku dan talkshow yang harus aku kerjakan di sana dan sekali pun tak pernah aku menghubungimu. Mungkin kamu mengetahui melalui lini masa twitter-ku. Tapi itu bukan sebuah kode untukmu. Kamu tahu, aku bukan seorang yang pandai menggunakan kodekode, aku orang yang lebih suka berterus terang meski terkadang itu menyebalkan.
Maaf Cha, telah melepasmu. Meski kata ‘melepas’ seharusnya melengkapi kata sebelumnya, yakni ‘memliliki’.
Aku sadar, menjalani sebuah hubungan tanpa label apa pun bersamamu adalah sebuah keputusan yang bodoh. Aku tahu, keputusan kita saat itu karena kita masih terluka dengan masa lalu dan tak ingin melakukan kesalahan yang sama. [.....]
Barangkali, tidak semua hal di dunia ini harus diungkapkan. Seperti mencintaimu, aku membiarkannya tumbuh dalam diam.
Aku mungkin tidak tulus mencintaimu, karnanya aku memiliki alasan. Bukankah cinta yang tulus tidak memiliki alasan, aku tidak tahu dan tidak pernah benar-benar tahu. Yang kutahu, aku suka memerhatikanmu diamdiam, melihat senyummu dan caramu tertawa.
Namun itu tak sebanding dengan melihat wajah [.....]